Berkembang dan majunya suatu negara dipengaruhi oleh beberapa
faktor. Salah satu faktor yang paling berpengaruh adalah Sumber Daya Manusia
(SDM) yang mampu untuk bersaing dalam mengelola potensi yang dimiliki negara
maupun mencari peluang-peluang baru. Sumber daya manusia menjadi pilar
terpenting yang menentukan arah perjalanan suatu bangsa.
Pendidikan, hingga saat ini dan dimanapun berada, masih merupakan
jalur utama untuk meningkatkan kualitas sumberdaya manusia. Jika kita belajar
dari perjalanan Negara-negara yang saat ini telah menjadi negara maju,
pendidikan menjadi fokus utama pembangunan manusianya. Pendidikan seharusnya
tidak melulu berkutat pada pendidikan formal di bangku sekolah. Pada jalur
non-formal bahkan seringkali menjadi sarana yang lebih efektif ketika masalah
pendidikan kita dihadapkan oleh keterbatasan.
Dalam konteks
pembangunan sumber daya manusia dan pendidikan, idealnya persoalan gender
laki-laki dan perempuan selayaknya tidak lagi menjadi sesuatu hal yang menjadi
persoalan. Herbert Marcuse (1898-1979) menggambarkan dalam masyarakat modern
sebagai masyarakat menjadi berdimensi satu (one
dimensional man) dimana seluruh ekspresi, pikiran serta sikap manusia
diikat oleh satu kondisi bersama. Sebagai konsekuensi, maka peluang serta
kesempatan pun menjadi terbuka lebar bagi siapapun baik laki-laki dan perempuan
dalam memperoleh pendidikan sebagai bagian dari upaya pembangunan kualitas
sumber daya manusia.
Indonesia
hingga saat ini, masih harus berkutat menyelesaikan banyak permasalahan dalam
kaitannya dengan pembangunan sumber daya manusianya. Hal ini terutama dalam
bidang pendidikan. Jika dikaitkan dengan kesetaraan gender, masih ditemukan
bahwa terjadi ketimpangan. Angka putus sekolah perempuan masih tergolong sangat
tinggi. Sebagai perbandingan, dari 6 juta anak, untuk setiap 3 murid laki-laki
terdapat 7 murid perempuan yang putus sekolah. Sekitar 47% belum mendapatkan
pendidikan dasar dan 75% diantaranya adalah perempuan. (Human Development Index-2004) Hal ini berimbas pada masih rendah
partisipasi perempuan di ruang publik. Hanya sedikit perempuan yang menjabat
sebagai pejabat publik. Sebaga contoh adalah prosentase perempuan anggota MPR
RI yang masih sangat rendah, hanya sekitar 9,2% dan jumlah anggota perempuan di
DPR RI hanya 9% (Cetro, 2001).
Keadaan
ini menggambarkan bahwa saat ini belum optimalnya inisiatif untuk
memprioritaskan pembangunan Perempuan sebagai dasar untuk membangun bangsa. Pembangunan bidang
pendidikan terutama untuk perempuan bukanlah masalah yang sederhana. Mungkin
saat ini kita masih belum dapat mengandalkan hal-hal yang seharusnya dilakukan
oleh pemerintah. Oleh karena itu dibutuhkan peran serta dari banyak pihak
termasuk Perguruan Tinggi dalam upaya membangun perempuan yang dapat mendukung
kemajuan bangsa ini.
Menjawab permasalahan-permasalahan yang saat ini masih ada di
masyarakat, Universitas Paramadina sebagai salah satu entitas yang menjunjung
tinggi nilai dan etika akademik terdorong untuk melakukan satu langkah nyata
untuk membangun perempuan di Indonesia. Dirintisnya suatu gerakan besar melalui
Program Perempuan dan Ruang Publik yang memiliki beberapa kegiatan diantaranya
Seminar dan Talkshow tentang Perempuan di Ruang Publik yang telah dilaksanakan
di 12 kota di beberapa wilayah di Indonesia yaitu Bandung, Makassar, Padang, Banjarmasin,
Pontianak, Medan, Malang, Lampung, Gorontalo, Balikpapan, Bangka Belitung, dan
Kendari; menjadi jejak langkah yang menjadi awalan dalam upaya berkelanjutan
ini.
Dalam
melanjutkan langkah-langkah nyata ini, muncullah sebuah inisiatif yang didukung
penuh oleh civitas academica Universitas Paramadina, untuk mendirikan suatu
wadah yang fokus utamanya adalah upaya dalam membangun kualitas perempuan
Indonesia. Inisiatif ini dituangkan melalui Pusat Studi Perempuan-Universitas
Paramadina. Pusat studi ini diharapkan menjadi pusat pengetahuan dalam
menghasilkan pemikiran-pemikiran untuk peningkatan daya saing perempuan di
Indonesia.
LANDASAN FILOSOFIS, YURIDIS, DAN SOSIOLOGIS
Landasan filosofis dari pendirian Pusat Studi Perempuan didasarkan
pada tiga nilai yang dijunjung tinggi oleh Universitas Paramadina yaitu
Ke-Islaman, Kemodernan, dan Ke-Indonesiaan yang senantiasa menjadi ruh dalam
setiap langkah-langkah universkeinitas dalam mengemban peran di masyarakat.
Nilai-nilai ini sejalan dengan yang telah dicita-citakan oleh pendahulu bangsa
seperti yang tercantum dalam Pembukaan UUD 1945, dimana pemerintah negara Indonesia akan melindungi segenap bangsa Indonesia dan
seluruh tumpah darah Indonesia, dan digenapkan dengan mewujudkan suatu keadilan
sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Pendirian
Pusat Studi Perempuan Universitas Paramadina juga didasari oleh beberapa
landasan yuridis yaitu:
UUD Negara Republik
Indonesia tahun 1945, Pasal 28 A-J tentang Hak Asasi Manusia dan Pasal 29
tentang Agama.
UU No. 7 tahun 1984
tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskiriminasi
terhadap Wanita (Convention on the
Elimination of all forms of discrimination against women)
UU No. 39 tahun 1999
tentang Hak Asasi Manusia
Inpres No. 9 tahun 2000
tentang Pengarusutamaan Gender dalam Pembangunan Nasional
UU No. 17 tahun 2007
tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) Tahun 2005-2025.
Program
pendahulu yaitu Rangkaian Program Perempuan dan Ruang Publik yang telah
dilaksanakan oleh Universitas Paramadina bekerjasama dengan 12 universitas
mitra di 12 kota di seluruh Indonesia telah memberikan peta sosiologis baru
mengenai kondisi perempuan di Indonesia. Hal ini menjadi landasan sosiologis
dari inisiatif didirikannya Pusat Studi Perempuan Universitas Paramadina.
Landasan filosofis, yuridis, dan sosiologis yang telah ada,
inisiatif pendirian Pusat Studi Perempuan Universitas Paramadina memiliki akar
yang kokoh agar dapat menopang perkembangannya di masa depan.
1.1
Tabel Peta Perempuan: Pengalaman 12 Kota
Kondisi
|
|
Kendala Sosial
|
Tantangan budaya lokal dan pemahaman agama
|
Peran ganda perempuan
|
|
Mindset perempuan-masih
belum merasa harus berkarya di ruang publik
|
|
Perspektif keadilan gender yang belum
komprehensif
|
|
Krisis kualitas ketokohan perempuan
|
|
Pernikahan perempuan di bawah umur
berkorelasi pada angka perempuan menggugat cerai
|
|
Kemiskinan, prostitusi-kekerasan seksual
|
|
Isu kesehatan dan reproduksi
|
|
Kendala akses
|
Rendahnya partisipasi perempuan di bidang
politik dan pemerintahan
|
Posisi strategis perempuan, masih belum dapat
menghasilkan dukungan yang signifikan terhadap kaum perempuan
|
|
Kapasitas Perempuan untuk masuk ke ruang
publik
|
|
Pemberdayaan ekonomi perempuan
|
|
Tingkat pendidikan perempuan yang masih
rendah
|
|
Kendala dukungan
|
Kurangnya dukungan pemerintah bagi
pembangunan perempuan
|
Kurangnya kontribusi perguruan tinggi
terhadap pemecahan masalah yang terkait dengan perempuan
|
No comments:
Post a Comment